Langsung ke konten utama

Permata di Pelosok Tanah Timur



Hari ini kami kembali, kembali masuk ke dalam kesederhanaan, kembali mengetuk pintu titik nol. Satu titik dimana dunia tak memegang kendali atas napas yang terhirup. 

Tangan-tangan kecil mereka bergerak lincah memungut kayu bakar di tengah hutan, menggenggam dan membawa bongkahan kayu itu di dalam pundak-pundak kecil mereka. 

Kaki-kaki kecil mereka berjalan di atas bebatuan tajam menyusuri kerasnya kehidupan yang belum seharusnya singgah ke dalam langkah-langkah polos itu. 

Di pagi yang dingin perlahan-lahan mereka munculkan wajah kecil mereka dengan kantuk dari balik bilik kamar. Malas, tentu saja, tapi mereka mengesampingkan perasaan itu dan menggantinya dengan gerakan cekatan mencari kayu bakar, membuat api di tungku lantas memasak untuk perut mereka. 


Tak ada yang spesial dari makanan mereka, kata salah satu anak, "Kami makan apa adanya, apa yang ada ya itulah yang kami santap." 

Sejujurnya aku prihatin dengan kondisi mereka. Bagaimana tidak, lihatlah, di umur yang seharusnya masih berada dalam pelukan kasih sayang orang tua, mereka malah bergerak lincah entah dengan perasaan apa, memeluk diri mereka sendiri, di tengah dingin, mencari dan memberikan makan untuk perut keroncongan mereka. 

Merekalah anak-anak desa Tli'u, permata Nusantara yang tersembunyi jauh di dalam pelosok NTT. Mereka, sungguh, aku benar-benar melihat permata di dalam diri mereka. Dari mereka aku melihat arti sesungguhnya dari kesederhanaan dan kemandirian. 

Ini adalah kali kedua bagiku tuk kembali menjejakkan kaki di atas tanah Tli'u. Dan tentunya aku tak sendiri, aku masih bersama kerabatku, kami berjalan menyusuri pelosok desa tuk berbagi kebahagiaan. 


Dan seperti tahun sebelumnya, kali ini kami kembali ke tanah Tli'u untuk membawa amanah dari orang-orang baik di momen ramadhan ini. Mereka menyisihkan sebagian hartanya untuk anak-anak desa Tli'u. Sungguh, terimakasih orang-orang baik! 

Di sana, kami bersama menyusuri jalan di desa Tli'u, mengamati dengan seksama jalan kehidupan masyarakat setempat. Setiap inci jalan yang kami telusuri menampilkan satu gambaran yang sama, kemiskinan. 

Hidup terasa begitu keras di sana, dan itu tergurat jelas di wajah para penduduk. Tak hanya kesulitan dalam makanan, sumber air pun sulit untuk didapatkan. Mereka harus berjalan berkilo-kilo meter untuk mendapatkan air bersih. 

Kata salah satu penduduk di sana, "Semua butuh perjuangan, sesuap nasi maupun seteguk air, kami harus berjuang untuk itu kalau tidak siapa yang mau berjuang untuk kehidupan kita. Hidup kita adalah tanggungjawab kita sendiri sebab itu anak-anak di sini sedari kecil sudah diajarkan untuk mandiri."


Sungguh, aku bahagia bisa kembali ke desa kecil ini, terlalu banyak nilai kehidupan yang diajarkan mereka kepadaku. Dan satu hal yang begitu melekat di benakku, kerasnya kehidupan di desa ini tak lantas membuat hati para penduduk ikut mengeras. Tidak, tidak sama sekali. 

Mereka mengajariku arti dari ketulusan yang hakiki. Nominal harta bukanlah syarat untuk berbagi. Melimpahnya makanan pun bukan syarat untuk berbagi. 

Dalam kerasnya hidup yang mereka pikul, di tengah kemiskinan yang menelan kehidupan mereka, mereka menyambut kedatangan kami dengan tangan terbuka. 

Tawa riang anak-anak, senyum sapa mereka, segalanya masih terekam jelas dalam memoriku. Tiga malam yang kulewati di bawah langit Tli'u, aku tak pernah mendengar desahaan berat maupun keluhan-keluhan tentang kehidupan yang mereka jalani. 

"Kuncinya hanya satu, bersyukur. Bersyukur dengan apa yang ada, walaupun kesulitan membeli beras kami masih diberikan jagung, ubi dan kacang, dan itu bukti bahwa Allah masih memberikan nikmat-Nya. Tak usah melihat apa yang orang punya karena itu hanya akan mengundang kita menjadi ingkar pada nikmat yang Allah turunkan."





Komentar