Langsung ke konten utama

Perempuan Dalam Dialektika Masyarakat-Amir Syarifudin Kiwang





Perempuan Dalam Dialektika Masyarakat 

Oleh : Amir Syarifudin Kiwang

(Perempuan diciptakan bukanlah dari kepala untuk dijadikan pemimpin, perempuan tidak diciptakan dari kaki untuk dijadikan alas. Tapi perempuan diciptakan dari tulang rusuk untuk dijadikan pendamping, yang dekat dengan lengan untuk dilindungi dan dekat dengan hati untuk dicintai).                

Perempuan dalam dialektika masyarakat post tradisionalisme mengalami transisi peran dan eksistensinya dari keterbelengguan sejarah hingga kadang-kadang tampil mengartistika zaman, kaum perempuan di bumi sempat terhina bahkan sebaliknya tersanjung setinggi langit. Perempuan tetaplah perempuan, makhluk Tuhan yang penuh enigma, misterius dalam kerahimannya, seiring dengan kepelikan fitrahnya sendiri, ia kadang lemah tanpa daya, namun dalam sikon tertentu ia juga bisa tampil sebagai pribadi yang kokoh, kokoh dalam takaran kewanitaannya. Namun sebuah hal yang sangat celaka andai perempuan dalam setiap seting sejarah cuma dijadikan riasan murah picture ruang dan waktu.

Dalam realitas masyarakat post tradisionalisme, perempuan cenderung tertelikung akibat depresi rekayasa social, karena bangunan system social yang tidak adil menempatkan perempuan pada pranata social yang tak ternominalisasikan dengan setiap angka-angka social yang ada hingga eksistensi perempuan tidak lagi menjadi suatu etentitas yang diperhitungkan secara serius. Perangkat moderenisme kadang telah merekayasa dan menjebak pemikiran dan gerakan perempuan hingga terjebak pada pola komersialisasi potensi perempuan. Ketika seks telah menjadi sentra pasar yang menjanjikan, pada saat yang bersamaan eksistensi perempuan terus dieksploitasi demi kepentingan pragmatis hedonis dan kemapanan dalam status social. Akankah persoalan ini menyejarah dalam kehidupan kaum perempuan? Kapankah system social, dan sejarah memberikan angin segar dan pencerahan, gerakan kaum perempuan? Ataukah pergerakan perempuan dalam sejarah teresterial mampu mendefenisikan dirinya secara eksistensial? Dan bagaimana hukum Teologis bisa menunjukan keberpihakannya pada realitas kehidupan perempuan ataukah doktrin ortodoks agama justru melegitimasi marginalisasi kaum perempuan?

Menurut Joan Wallece Scott (1986) marginalisasi perempuan tumbuh dari kombinasi factor sejarah, ekonomi dan kebudayaan dalam arti luas dan tidak hanya disebabkan oleh suatu system tertentu. Dalam konteks ini vase dan lingkaran sejarah panjang telah menunjukan bahwa dimensi kemanusiaan telah menelikung dari kehidupan kaum perempuan hingga boleh dikatakan sejarah keadilan dan kecintaan dari segmen social manapun tidak pernah mewujudkan suatu asa yang pasti dalam mengembalikan hak etis perempuan sebagai manusia yang sesungguhnya yang patut mendapatkan perlakuan yang adil. Padahal dalam relasi personal antara laki-laki dan perempuan sejak manusia pertama hingga kini tidak pernah menegaskan secara pasti apa keistimewaan sejati antara makhluk berkelamin laki-laki dan perempuan. 

Ann D. Gordon dkk dalam artikelnya yang berjudul “The Problem of Women’s History”. Dimana dikatakan bahwa sejarawan mengabaikan kaum wanita karena dalam pikiran mereka yang signifikan adalah yang nyata di bidang politik dan ekonomi. Laki-laki aktif dan wanita pasif; kehidupan wanita dianggap timelessness tak dibatasi oleh waktu-berpusat pada mengandung dan memelihara anak dalam lingkungan keluarga. Gambaran masa lalu semacam itu tentu saja tidak adil, karena melihat wanita sebagai second sex semata-mata. Dalam buku Analisis Gender dan Transformasi Sosial oleh Dr. Mandour Fakih dikatakan bahwa telah terjadi “kerancuan dan pemutarbalikan makna tentang apa yang disebut seks dan gender” yaitu dimana dewasa ini terjadi penegakan pemahaman dalam masyarakat, dimana sesungguhnya gender, karena pada dasarnya konstruksi sosial justru dianggap sebagai kodrat yang berarti biologis atau ketentuan Tuhan. Hal ini kemudian sering disebut dengan “kodrat wanita” adalah konstruksi sosial dan cultural atau gender. Tidak dapat dipungkiri bahwa ketika orang berbicara tentang gender, maka konotasinya pada wanita. Hal ini disinyalir oleh Joan Wallace Scott bahwa dalam arti yang sederhana “gender” synonym untuk “wanita”. Kemudian dapat disimpulkan sementara bahwa arti istilah gender adalah hasil dari kontruksi masyarakat dan bukan kodrat. Seperti yang dikemukakan oleh Jane Sherron de Hart dan Linda K. Kerber dalam artikelnya yang berjudul “Gender and the New Women’s History” bahwa “gender it self is a social construction”, bahwa pernyataannya menjelaskan bahwa jelas terdapat perbedaan dari istilah gender dan seks. Pernyataan ini juga mendapat dukungan dari Kamla Bhasin yang mengutip Ann Oakley, penulis buku Sex, Gender and Society (1985) bahwa “Gender” adalah masalah budaya, ia merujuk kepada klasifikasi sosial dari laki-laki dan perempuan menjadi “maskulin” dan “feminism” kriteria yang bersifat budaya, berbeda karena waktu dan tempat. Mencermati tulisan Joan Wallach Scott mengatakan bahwa istilah gender sebagai pengganti kata wanita, sebenarnya mengandung pengertian hubungan sosial antara laki-laki dan wanita. Artinya informasi tentang wanita dengan sendirinya berarti juga informasi tentang laki-laki. Dengan demikian istilah gender sebenarnya suatu pengertian yang terpisah dari feminism dan tidak mengandung pernyataan tentang ketidaksetaraan dan kekuasaan. Namun apa yang dikemukakan oleh Wallach Scott berbeda dari penulisan sejarah wanita dari kaum feiminis: dari sejarah yang androsentris menjadi gynosentris. Sejarawan feminis menolak kontruksi hierarki dalam hubungan sosial antara laki-laki dan wanita. Mereka berusaha mengubah dan membalikkan pemikiran itu, seperti yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo bahwa kaum feminis yang radikal “mencoba menyadarkan wanita akan sisterhood” untuk meggantikan istilah brotherhood.

Wadud Muhsin dalam Teologi Islam Kontemporer menegaskan abad modern puncak tantangan kemanusiaan yang paling krusial dan meliputi spectrum yang luas, persoalan–persoalan tersebut sebagian berasal dari bangunan struktur relasi dunia dan kebijakan serta strategi pembangunan yang dipilih oleh berbagai negara di belahan dunia yang melahirkan ketidak adilan, kemiskinan dan sebagainya. Perkembangan itu melahirkan apa yang kemudian disebut Problem Gender.

Ekstrimisme budaya dan agama secara histories juga telah terbentuk dalam mindset kebanyakan orang dan membangun suatu gugusan wacana yang menelikung keasasian perempuan bahwa dalam stratifikasi social kaum perempuan menempati posisi second line, baik kesempatan untuk mendapatkan keadilan juga perilaku positif lainnya dalam bersosialisasi di tengah masyarakat. Singkatnya ortodoksi pemikiran keagamaan, rekayasa sains, dan berbagai akumulasi dari produk nilai-nilai social yang ada telah begitu fatal menempatkan kaum perempuan pada ruang social yang termarjinalkan (underdog society).

Dalam tinjauan filsafat eksistensial Nietzche dalam Of Womendkind Old Young yang disarikan dari Thus Speak Zarathustra menegaskan kehidupan perempuan diarahkan hanya untuk menyenangkan kebutuhan hormonal (fungsi ketubuhan) laki-laki dan menjadikannya sebagai manusia pelengkap. 

Akumulasi nilai-nilai social dan produk historis pada masa tradisional yang menempatkan perempuan pada second line dalam kerangka relasi personal dengan laki-laki juga mempengaruhi interprestasi agama, hingga pada aspek Teologi pun yurisprudensi perempuan secara agamiah digiring kearah kesadaran nalar grafis, tekstual dalam mengartikan kemauan Ilahi, atau semangat patriarki sebagai produk nilai-nilai social yang mapan menjadi motivasi dasar dan diikut sertakan dalam mendefenisi dan menginterprestasikan ajaran agama. Oleh Prof. Munawir Sadjali dalam Ijtihad Kemanusiaan dikatakan bahwa banyak terjadi diskriminasi atas perempuan dengan bersandar pada hukum-hukum teologi dan norma-norma social.  

Yurisprudensi perempuan dalam Islam misalnya secara tekstual ditafsirkan melegitimasi poligami, sehingga seorang pria boleh mengawini sampai empat orang istri, belum lagi masalah kepemimpinan (imamah) dalam konteks ini soal kepemimpinan dalam sholat dan kepala Negara. Ibn Rusyd dalam Bidayat Al Mujtahid secara khusus mengulas kontroversi apakah seorang perempuan menjadi imam bagi laki-laki. Menurut Mayoritas ulama perempuan tidak boleh mengimami sholat laki-laki dan berselisih pendapat dalam keabsahannya menjadi imam bagi perempuan.

Masalah kepemimpinan ini memperoleh justifikasi secara teologis dari QS : An-Nisa ayat 34, bahwa laki-laki itu adalah pemimpin (Qawwamun) atas perempuan. Alasannya karena laki-laki punya kelebihan akal (menurut Ibnu Abbas), kesempurnaan akal (menurut Al Nawawi), kelebihan kekuatan dan kemampuan (menurut Rasyid Ridla) bahkan ulama terkemuka Al-Zamakhsyari merinci menjadi Kelebihan penalaran, tekad yang kuat, keteguhan, kekuatan, kemampuan tulisan, dan keberanian. Itulah sebabnya menurut banyak ahli fiqih, laki-laki mendapat banyak tugas besar seperti menjadi nabi, ulama, imam dan guru sufi. Karenanya laki-laki banyak berperan dalam jihad, azan, wali dalam nikah sampai pada masalah perceraian dan rujuk. Superioritas seperti ini ternyata memperoleh pengesahan teologis dari kitab-kitab fikih. 

Sedangkan hak perempuan dalam kancah politik juga absurd. Dalam kitab-kitab fikih politik, juga dinyatakan bahwa syarat menjadi Imam (Kepala Negara) tidak boleh dari kalangan perempuan. Wahbah Al-Zuhaili dalam kitabnya Nidzam al-Islam (1993) menyebutkan syarat untuk menjadi Kepala Negara antara lain Muslim, Baligh, merdeka, berakal, laki-laki. Bahkan secara tegas pemikir Islam politik terkemuka Abu’l – A’la al-Maududi (1903-1979) menyatakan bahwa perempuan tidak diperbolehkan menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan, lebih-lebih jabatan negara.

Akan tetapi ada juga pakar Islam yang kemudian memberikan penafsiran secara lebih santun tentang hegemoni laki-laki terhadap perempuan dalam QS : An-Nisa ayat 34 sebagaimana yang ditafsirkan oleh Asgar Ali Engineer dalam Islam dan Teologi Pembebasan, menurutnya ayat ini tampaknya memperlakukan wanita secara kasar, namun harus dilihat dalam konteks yang proporsional. Pada saat ayat ini turun, wanita dibatasi hanya boleh berada di dalam rumah dan laki-lakilah yang menghidupinya. Al-Qur’an memperhitungkan kondisi ini dan menempatkan laki-laki pada kedudukan yang lebih superior terhadap wanita. Namun harap dicatat bahwa Al-Qur’an tidak menganggap atau menyatakan bahwa suatu struktur social bersifat normative. Sebuah struktur social pasti dan memang selalu berubah dan jika disebuah struktur dimana wanitalah yang menghidupi keluarganya, atau menjadi teman kerja laki-laki (struktur social kita sedang berjalan kearah sana), maka wanita pasti sejajar atau bahkan lebih superior terhadap laki-laki dan memainkan peran yang dominan dalam keluarganya sebagaimana yang diperankan oleh laki-laki.

Secara jujur harus diakui bahwa konstruksi social budaya patriarki dan bias ideology gender sangat berpengaruh bagi banyak pakar/ulama laki-laki dan diikut sertakan dalam menafsirkan teks-teks ajaran agama. Hingga pada taraf ini, normatifisme yang lahir dari inspirasi social culture seperti ini dijadikan epistemologi dalam menalari teks agama, yang tentunya akan melahirkan komunalisme pemahaman sempit tentang yurisprudensi perempuan dalam naskah-naskah keagamaan. Seolah-olah Tuhan pun tidak pernah berbuat adil terhadap perempuan, padahal pemahaman ini adalah cerminan dari budaya feodalistik yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan peradapan saat ini, dimana wacana gender yang sudah menjadi Mainstrem Global.

Realitas sejarah dan wacana teoritik ini Mengharuskan kita secara geneuine melakukan rekonstruksi dan rekonseptualisasi tentang eksistensi perempuan sejalan dengan semangat pembebasan menuju peradapan yang humanis dan terus melakukan pembongkaran/dekonstruksi terhadap mitologi pemikiran yang telah menjadi piramid otorisasi dikotomis terhadap jenis kelamin tertentu (perempuan) dalam suatu komunitas social, karena nilai-nilai keetisan social harus diarahkan secara adil dalam bingkai peradapan global menuju humanitas masyarakat baru yang madaniah, karena ini adalah cita-cita setiap orang dalam bermasyarakat, sehingga nilai-nilai humanitas akan senantiasa menjadi bagian integral dalam menciptakan kohesifitas social yang benar-benar pure. Semoga…

Dengarkan perempuan jangan ketika dia sedang berkata-kata,

tapi tatkala dia sedang diam tanpa kata-kata (Kahlil Gibran)

Komentar