Langsung ke konten utama

Berpikir Terbuka: Cahaya di tengah kegelapan prasangka


Pernah nggak sih, ketemu seseorang lalu langsung menilai dari penampilannya? Atau mendengar satu cerita tentang seseorang, seketika langsung percaya tanpa mencari tahu terlebih dahulu? Kita sering terjebak dalam jebakan prasangka—menghakimi sebelum memahami. Padahal, bisa jadi yang kita lihat atau dengar baru setengah cerita, atau malah tak ada kebenaran sama sekali. Islam mengajarkan kita untuk berpikir terbuka, tapi kenapa masih banyak yang begitu mudah menghakimi orang lain? Bukankah kita juga tidak suka kala dihakimi tanpa alasan? Lantas, kenapa kita malah suka melakukan hal yang sama terhadap orang lain?

Allah sudah mewanti-wanti dalam QS. Al-Hujurat: 12, “Jauhilah banyak dari prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa...” Dalam ayat tersebut Allah mengingatkan kita untuk tidak terburu-buru dalam menghakimi orang sebelum mengetahui cerita lengkapnya. Kita hanyalah manusia biasa, Allah tak memberikan kita hak untuk main hakim atas kehididup orang lain. Karena yang kelihatan buruk di mata kita, bisa jadi tengah berjuang di jalan yang tidak kita pahami.  

Berpikiran terbuka itu bukan berarti menerima segala sesuatu tanpa berpikir,  tetapi memberi ruang untuk memahami sebelum menghakimi. Rasulullah sendiri tidak pernah terburu-buru dalam menilai seseorang. Beliau selalu mendengar sebelum berbicara, selalu memberi kesempatan, dan mengajak orang berubah dengan cara yang lembut. Beliau tidak pernah menjudge atau bahkan menolak seseorang hanya karena prasangka. 

Namun, begitu disayangkan sebab kita umat Rasulullah yang mengaku cinta Rasulullah tapi tidak mencontohi akhlaknya sama sekali. Jempol kita begitu semangat untuk share sebuah berita tanpa mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu. Telunjuk kita begitu sibuk menghakimi tanpa mau mendengar dan memahami. Dan jari-jemari kita begitu sibuk mengetik ujaran kebencian hanya karena ikut-ikutan. Padahal, jika posisi tersebut dibalik, kita pasti tak mau mendapat perlakuan seperti itu, bukan?  Hidup ini lebih kompleks dari sekadar “baik” atau “buruk.” Ada banyak hal yang tidak kita ketahui, ada banyak alasan di balik setiap tindakan seseorang.  

Jika kita telik lebih dalam, kebiasaan suudzon bahkan menghakimi orang tidak lain hanya membuat hati kita menjadi lelah, perasaan menjadi sumpek sebab kita dipenuhi oleh emosi negatif. Andai kita mau memberi kesempatan bagi orang lain, melihat mereka dengan pandangan terbuka, dan memahami mereka terlebih dahulu, tentu perasaan menjadi lebih ringan dan damai. 

Islam mengajarkan kita untuk selalu husnuzon (berbaik sangka), bukan berarti harus polos dan naif, tapi paham kapan harus berhati-hati dan kapan harus percaya. Jika ada suatu hal yang mendatangkan rasa ragu, tanyakan. Jika ada kesalahpahaman, klarifikasi. Jika ada perbedaan, hargai. Sesimpel itu, tapi sering terasa berat untuk kita lakukaan. 

Jadi, mulai sekarang, yuk coba buka hati dan pikiran lebih lebar. Jangan terlalu sibuk menilai hidup orang hingga lupa memperbaiki hidup sendiri. Sebab, jika kita terus-menerus hidup dalam prasangka, yang rugi bukan orang lain, tapi diri kita sendiri.  

Hidup sudah cukup ribet, tak perlu ditambah ruwet dengan pikiran negatif. Pelan-pelan saja, berikan orang lain ruang untuk menunjukkan siapa mereka sebenarnya, dan berikan diri kita kesempatan untuk lebih damai tanpa beban prasangka yang berlebihan.

Ada satu tulisan indah yang aku temui di media sosial baru-baru ini yang bisa menjadi pengingat buat kita, 'Jika kita ingin melihat pendosa, maka lihatlah di cermin, bukan pada orang lain. ' 

Mari berhenti menilai sebelum memahami, berhenti berprasangka sebelum mendengar. Sebab hidup  bukan hanya tentang apa yang kita lihat dan kita mau, tapi tentang memahami bahwa setiap hati punya cerita, setiap langkah punya alasan. Luaskan pikiran, ringankan hati—biarkan hidup mengalir tanpa beban prasangka yang mengikat. 

 

Komentar