Sedari kecil aku sudah diperkenalkan dengan dunia keilmuan. Ilmu bukan hanya sekumpulan pengetahuan di dalam kepala, tetapi juga merupakan esensi penting yang tidak boleh hilang dari kehidupan. Sebab, hilangnya ilmu akan membawa kehancuran peradaban. Ilmu bagaikan cahaya yang menerangi kegelapan, ia menuntun langkah, membuka wawasan, dan menjadi kompas kehidupan.
Aku teringat pada kisah nabi Yusuf. Allah menganugerahkan paras yang rupawan, tapi keindahan tersebut hanya membawanya terkurung di dalam penjara. Di sisi lain, Allah juga menganugerahi banyak ilmu kepada nabi Yusuf, salah satunya adalah ilmu tafsir mimpi, dan dengan ilmu itu nabi Yusuf As. mendapat kebebasan bahkan menduduki posisi penting dalam pemerintahan kala itu.
Bukan hanya itu, saat Allah menciptakan nabi Adam As, Allah pun mengajarkan ilmu berupa pengetahuan tentang dunia dan nama-nama segala sesuatu. Bahkan, wahyu pertama yang nabi Muhammad Saw. terima tidak memerintahkan nabi untuk bersujud atau beribadah kepada Allah, melainkan Allah memerintahkan nabi untuk membaca :
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan..." (QS. Al-‘Alaq: 1-5).
Dari sini kita bisa melihat bahwa kedudukan ilmu dalam kehidupan sangat penting. Kehadiran ilmu membuka mata kita untuk melihat yang benar dan salah, ilmu adalah pembuka jalan sehingga kita lebih memahami arti kehidupan, dan ilmu menjadikan kita sebagai manusia yang memberi manfaat bagi sekitarnya atau Rahmatan lil Alamin.
Akan tetapi, belakangan ini ada satu hal yang menggangguku. Satu hal penting, tapi sering luput dari kejelian hati dan pikiran. Tentang satu ironi ilmu yang kita lupakan dalam kehidupan, yakni bagaimana kita mengamalkan ilmu yang kita miliki.
Kita sering diajarkan tentang pentingnya mencari ilmu, menghafal teori-teori, dan memahami berbagai konsep keilmuan. Kesibukan kita dalam pencarian dan pemahaman tak jarang mengecohkan pikiran kita. Tak jarang kita merasa puas hanya dengan memiliki dan menghafal berbagai ilmu, dan lupa pada esensi dari ilmu itu, yakni penerapan dalam kehidupan sehari-hari.
Padahal, di hari pembalasan nanti segala sesuatu yang melekat pada kita pasti akan dimintai pertanggungjawaban, termasuk ilmu yang kita miliki. Di hari akhir nanti, Allah tidak hanya bertanya "Berapa banyak ilmu yang kamu miliki?" tapi Allah juga akan bertanya, "Bagaimana kamu mengamalkan ilmu yang kamu miliki?"
Aku yakin kita semua paham tentang konsep kejujuran, tapi coba kita bertanya pada diri kita masing-masing, apakah pemahaman tersebut sudah kita terapkan dalam keseharian kita? atau kita masih sering berbohong, walau paham tentang konsep kejujuran, bahkan konsep pahala dan dosa?
Aku sendiri mengakui bahwa memahami konsep kejujuran, bahkan pahala dan dosa tak serta merta menjadikanku sebagai sosok yang selalu jujur. Aku masih sering berbohong, bahkan tanpa sadar meremehkan perilaku tersebut, seakan-akan itu bukanlah hal besar yang perlu mendapat perhatian.
Betapa banyak pula di antara kita yang paham tentang ikhlas, tapi sering lupa bahwa iklas itu ada di dalam hati, bukan diucapkan oleh lisan. Kita paham pun sering mengingatkan orang untuk bersabar, tapi kita juga sering terbawa arus ledakan emosi.
Realita ini membuatku bingung, lantas kemana ilmu yang kita pelajari selama ini?
Ilmu dalam esensinya harus kita hidupkan dalam keseharian kita. Sayangnya, tak jarang kita mengunakan ilmu sebagai ajang uji kepintaran. Bahkan, lebih disayangkan lagi, kehadiran ilmu seketika membuat kita menjadi sombong dan memandang rendah orang-orang yang tak berilmu.
Sebenarnya, apa yang terjadi pada dunia sekarang ini? Apakah ini yang Allah maksud bahwa ketika dunia akan mencapai batas akhirnya, Allah akan mengangkat ilmu dan menyebarkan kebodohan?
Dalam salah satu riwayat Al-Bukhari dari Syaqiq, beliau berkata, “Aku pernah bersama ‘Abdullah dan Abu Musa, keduanya berkata, ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
‘Sesungguhnya menjelang datangnya hari Kiamat akan ada beberapa hari di mana kebodohan turun dan ilmu dihilangkan.’
Ironis, namun memang benar adanya. Aku yakin banyak di antara kita yang menyadari bahwa hadits tersebut kini hidup dalam realitas. Di era sekarang ini akses terhadap ilmu dan pendidikan semakin luas dan mudah, tak seperti yang terjadi di masa lalu. Namun, orang-orang berilmu yang mampu memberikan manfaat bagi sekitarnya semakin jarang terlihat.
Sejatinya ilmu adalah cahaya yang menerangi langkah kehidupan kita, bukan melainkan menjadi hiasan atau sekedar menjadi simbol 'kepintaran'. Ilmu tak boleh hanya berhenti di dalam kepala, tetapi juga harus nampak dalam karakter kita. Sebab ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah—menjulang tinggi, tapi tak memberi manfaat.
Maka, aku berdoa agar ilmu yang kumiliki tidak hanya tersimpan di dalam kepala, tetapi juga hidup dalam setiap tindakanku. Agar ilmu itu tidak hanya menjadi sesuatu yang kucari, tetapi juga sesuatu yang kumanfaatkan. Karena pada akhirnya, ilmu bukan tentang seberapa banyak yang kita tahu, tetapi seberapa besar yang kita amalkan.
Untuk itu, mari kita mawas diri, sudahkah kita menerapkan ilmu yang kita miliki dengan semestinya? Selagi kita masih memiliki waktu, mari perlahan-lahan kita hidupkan ilmu yang kita miliki dalam setiap tindakan kita, sehingga kelak di akhirat nanti, ilmu kita tidak menjadi beban hisab yang menyeret kita ke dalam murka Allah, melainkan menjadi penolong kita.
sangat-sangat inspiratif
BalasHapusTerima kasih
BalasHapus