Langsung ke konten utama

Esensi Iman, melepas cemas tuk memeluk rasa yakin



Kita sering kali merasa sudah beriman hanya karena kita masih shalat. Masih ingat waktu-waktu wajib, masih menengadahkan tangan saat meminta sesuatu, masih menunduk saat azan berkumandang. Tapi di balik semua itu, ada pertanyaan yang mengendap pelan: sudahkah kita benar-benar menjalin hubungan dengan-Nya?

Kita shalat, tapi hati kita sibuk mengulang masalah yang belum selesai. Kita sujud, tapi kepala kita masih penuh dengan hitung-hitungan dunia. Kita mengucap "Hasbunallah," tapi setelahnya kita kembali larut dalam kekhawatiran yang sama. Kita bilang percaya bahwa rezeki tidak akan tertukar, tapi tetap memaksa diri bekerja di luar batas, takut jika tak kebagian rezeki. Kita tahu pertolongan Allah itu nyata, tapi hidup kita tetap dipenuhi kegelisahan seolah semuanya harus selesai dengan tangan kita sendiri.

Anehnya, kita merasa lebih aman hidup dengan rasa khawatir. Lebih nyaman menyimpan beban di pundak sendiri daripada menyerahkannya kepada Dia yang menciptakan langit dan bumi. Kita berpikir kita bisa menata hidup lebih baik dengan kecemasan, padahal hati kita makin kosong, makin jauh. Kita terbiasa menyimpan segala luka, tapi lupa bahwa ada Allah yang mengerti bahkan sebelum kita bercerita. Mungkin karena kita belum benar-benar kenal. Mungkin karena kita hanya menjadikan Allah sebagai tempat datang saat terdesak, bukan sebagai teman hidup yang membersamai langkah kita, setiap hari, setiap waktu.

Padahal, hubungan dengan Allah bukan hanya soal rukuk dan sujud. Bukan hanya soal hitungan kewajiban. Tapi soal hadir. Soal percaya. Soal mengizinkan hati kita diselimuti oleh yakin yang pelan-pelan menenangkan. Soal menyerahkan kegelisahan kita kepada-Nya, lalu melanjutkan hidup dengan tenang, dengan ringan, dengan cukup. Karena bukankah Allah memang sebaik-baik penolong? Bukankah Dia yang menggenggam setiap detik hidup kita?

Dan bukankah semua yang kita kejar di dunia ini mulai dari rasa aman, bahagia, cukup, sebetulnya hanyalah upaya untuk pulang ke tempat yang damai? Sementara tempat yang paling damai itu sudah Allah siapkan, dalam pelukan-Nya. Tapi kita enggan menyelam ke sana. Kita lebih memilih berlari dalam lingkaran kecemasan yang tak ada ujungnya. Kita takut melepaskan kendali, padahal melepaskan bukan berarti menyerah. Melepaskan berarti percaya bahwa Allah lebih tahu cara mengurus hidup kita daripada kita sendiri.

Mungkin hari ini kita bisa mulai perlahan-lahan mengubah cara kita memandang-Nya. Bukan sekadar sebagai Tuhan yang kita sembah di waktu tertentu, tapi sebagai Sahabat yang selalu hadir. Tempat kita bercerita, bersandar, bahkan menangis dalam diam. Tempat kita mengakui bahwa kita lelah, bahwa kita tidak tahu harus ke mana lagi, bahwa kita hanya ingin merasa cukup dan tenang. Mungkin dari sanalah hubungan itu bisa benar-benar tumbuh. Bukan hanya ritual, tapi ikatan. Bukan hanya kewajiban, tapi cinta.

Karena pada akhirnya, yang Allah cari dari kita bukanlah kesempurnaan. Bukan ibadah yang selalu khusyuk atau hati yang selalu yakin tanpa ragu. Tapi usaha untuk kembali. Usaha untuk membuka hati, walau perlahan. Usaha untuk berkata, “Aku ingin dekat, Ya Allah… meski aku masih berantakan.”

Dan mungkin itu cukup untuk memulai. Satu langkah kecil. Satu doa lirih. Satu sesi shalat yang benar-benar kita hadirkan hati. Sebab cinta yang besar, selalu dimulai dari hal yang paling sederhana.


Komentar