Langsung ke konten utama

Tentang Ia, Sang Pemilik Hati yang Indah

 

Aku menemukan ketulusan di matanya. Berlari dengan kaki telanjang di atas panasnya jalan yang ia tapaki. Aku mengakuinya, bocah dua belas tahun yang mengajariku arti kebahagiaan dalam hidup yang sesungguhnya. Ia juga turut membuka mataku, bahwa di tengah kerasnya dunia,  dunia diam-diam masih merawat mereka yang menghidupkan nilai-nilai kebaikan, ketulusan, juga keikhlasan yang hampir dinobatkan ke dalam kalimat 'Konon katanya.'

Kisah pertemuan ini berawal di tanah Rote. Sebuah pulau yang berada di wilayah paling selatan Indonesia, tepatnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 

Di pulau Rote ini, di tengah pulau yang menyembunyikan beribu kecantikan alam yang memanjakan mata, aku menemukannya. Anak itu. Bocah berusia dua belas tahun yang telah membuatku mempertanyakan eksistensi kedewasaan diriku, juga membuat mataku melihat salah satu keindahan yang tak kalah indah dari keindahan alam yang terkenal di pulau ini, bahkan di seluruh penjuru dunia. Yakni keindahan sebuah hati yang memancarkan nilai kebaikan, ketulusan, dan keikhlasan. 

Beberapa bulan yang lalu, aku bersama kerabatku akhirnya mendapat kesempatan untuk menapakkan langkah kami di tanah  Rote. Sebenarnya, perjalanan waktu itu merupakan perjalanan yang sungguh terburu-buru. Dari planning yang dipaksakan hingga budget seadanya. Namun, tekad kami telah sampai pada tanda titik. Planing, budget, atau apa pun itu bukan masalah yang dapat menghentikan langkah kami. 

Berbekal dua tiket kapal feri, kami pun berangkat menuju tanah Rote. Perjalanan menuju pulau Rote memakan waktu kurang lebih tiga jam perjalanan. Dalam tiga jam perjalanan itu, suguhan alam terbentang mempesona. Hatiku terasa tenggelam jauh dalam keelokan biru laut dan pulau-pulau kecil yang ikut mempercantik keindahan alam ini. Pun cuaca yang bersahabat terasa menyempurnakan perjalanan kami. 

Akhirnya, selama tiga jam perjalanan, tanah Rote tepatnya pelabuhan pantai baru membuka tangan menyambut kedatangan kami. Dari pelabuhan kami melanjutkan perjalanan kami menuju kota Ba'a  menggunakan angkot selama kurang lebih 45 menit. Dan di kota Ba'a inilah langit membuka lembaran waktu kami bersamanya, yang memelihara ketulusan di dalam matanya.  

Ake. Begitulah ia biasa disapa. Bocah 12 tahun yang kini tengah duduk di bangku SMP. Di usianya yang masih terbilang cukup muda, ia telah cekatan berlari kesana kemari tanpa memperdulikan panasnya sengatan matahari demi mencari rejeki.  Padahal secara ekonomi keluarganya tidak berkekurangan, tapi semangatnya dalam bekerja sungguh patut diacungi jempol. 

Bagaimana tidak, seusai pulang sekolah, ia langsung menuju rumahnya mengganti seragam sekolah, lantas bergegas menuju pelabuhan kapal cepat yang berjarak kurang lebih 1.2 km dari rumahnya menggunakan sepeda buntut kesayangannya. 

Di pelabuhan, ia menawarkan tenaganya kepada para penumpang untuk membantu mengangkut barang bawaan mereka. Untuk bayaran, ia tak pernah menetapkan tarif. Ia dengan ikhlas dan riang hati menerima berapa pun rejeki yang diberikan para penumpang kepadanya. 

"Kata Abah, ketika melakukan sesuatu ikhlas harus diutamakan. Tak masalah berapa pun yang mereka berikan itu rejeki dari Allah. Ake senang bisa membantu orang-orang."


Aku sempat memperhatikannnya ketika ia membawa barang bawaan para penumpang. Tak ada sedikit pun raut kekesalan, kesedihan, atau emosi negatif lainnya. Ia terlihat begitu menikmati aktivitas yang ia lakukan. Senyum dan tawa selalu terlukis dalam rona wajahnya. Sesekali ia akan beristirahat sejenak sembari matanya mengamati tiap sudut pemandangan yang terpampang di depan matanya. 

Bagi Ake, tujuan ia berada di pelabuhan ini sebenarnya bukan bekerja untuk mencari uang. Uang hanyalah bonus. Ia hanya senang berlarian di sepanjang pelabuhan sembari membantu orang-orang. 

Dan uang yang ia dapatkan itu pun jarang ia belanjakan. Biasanya, sesampainya di rumah uang hasil keringatnya langsung ia masukkan ke dalam celengan kecilnya. 

"Ake menabung tidak untuk membeli sesuatu, Ake hanya terbiasa seperti itu. Mungkin nanti saat ada keperluan uang tabungan itu bisa digunakan. Dari kecil Abah selalu mengingatkan Ake untuk menabung."

Selain mengisi waktunya di pelabuhan, ia juga tak lupa membantu kedua orang tuanya di rumah. Bagi sang abah, Ake adalah kaki tangan miliknya. 

Pelabuhan kapal cepat itu bukan pelabuhan sibuk yang selalu kedatangan kapal setiap harinya. Sehingga, saat pelabuhan sedang  tak ada jadwal kedatang kapal, maka ia akan tinggal di rumah sembari membantu orang tuanya mengurus warung milik keluarganya. Tak hanya sekedar melayani para pembeli, ia turut ikut memastikan stok jualan selalu tersedia. 

Melihat ia di usia remajanya yang sibuk bekerja membuatku penasaran. Apakah  ia tak ingin bermain layaknya teman-teman sebayanya? Bagaimanapun ia tengah dalam masa pertumbuhan, bermain dan mencoba hal-hal baru adalah hal wajar untuk usianya kini.  

Dan saat aku menanyakan perihal itu kepadanya, jawabannya cukup sederhana tapi memberiku satu pesan penting, "Ake suka dengan apa yang Ake lakukan, kadang cape tapi yang penting Ake senang."

Responnya membuatku sadar akan satu hal. Tak ada satu pun pekerjaan yang tak membawa rasa lelah. Namun, saat mengerjakan suatu pekerjaan yang kita sukai, rasa lelah itu dapat membawa perasaan bahagia, perasaan puas terhadap pekerjaan yang telah kita kerjakan. 


Waktu itu umurnya masih dua belas tahun, dan ia membuatku semakin yakin bahwa umur tidak bisa dijadikan sebagai patokan untuk menilai tingkat kedewasaan seseorang. Ake, sosok dua belas tahun yang berpikir dengan cara dewasa dan menjalani hidupnya dengan gaya anak-anak, selalu tertawa dengan riang dan menikmati tiap detik waktu yang ia lewatkan. 

Bagaimanapun juga, orang tua Ake,  Merekalah yang telah berperan besar dalam membentuk pribadinya. 

"Abah selalu mengajarkan anak-anak abah untuk tulus dan ikhlas dalam segala hal.  Dan yang tak kalah penting yaitu mandiri. Hidup ini akan susah kalau bergantung kepada orang lain. Selagi masih dalam pertumbuhan, abah ingin anak-anak abah tumbuh dengan sifat dan pribadi yang baik. Jadi mandiri biar nanti bisa membantu orang lain."


Komentar